Friday, 14 March 2014

kesehatan sapi


KESEHATAN SAPI
    1. Sapi Sehat
Tingkah laku sapi memberikan gambaran tentang status kesehatan sapi tersebut. Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Kondisi sapi yang seimbang adalah tidak terlalu gemuk atau kurus, langkah kakinya mantap dan teratur (Akoso, 1996).
Sudut matanya terlihat bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang. Ekornya selalu aktif megibas untuk mengusir lalat. Kulit dan bulu tampak halus dan mengkilat serta pertumbuhan bulu merata di permukaan tubuhnya (Akoso, 1996).
2.2. Fisiologi Ternak
Kondisi fisiologi ternak dapat digunakan untuk mengetahui kesehatan seekor ternak, kondisi fisiologis yang digunakan untuk mengetahui indikasi ternak sehat adalah suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi (Subroto, 1985).
2.2.1. Suhu rektal
Menurut Sugeng (1998), suhu tubuh normal untuk anak sapi adalah 39,50C-400C, sedangkan untuk anak sapi dewasa 380C-39,50C. Suhu tubuh dipengaruhi oleh lingkungan, jenis kelamin dan kondisi ternak. Sugeng (1998) menjelaskan bahwa ternak mempunyai sistem pengaturan suhu tubuh untuk memelihara suhu tubuhnya dari pengaruh luar.
2.2.2. Frekuensi denyut nadi
Akoso (1996) menyatakan denyut nadi sapi normal sekitar 50-60 kali per menit. Hal ini berhubungan dengan faktor bahwa semakin kecil ukuran hewan, laju metabolisme per unit berat badannya semakin tinggi (Dukes, 1995). Hewan yang sakit atau stres akan meningkat denyut jantungnya untuk sementara waktu (Subroto, 1985).
2.2.3. Frekuensi pernapasan
Frekuensi pernapasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi pada umumnya. Rata-rata frekuensi pernapasan sapi normal adalah 19 kali per menit, Angka rata–rata dapat naik jika terjadi kejutan atau latihan. Sapi yang mengalami demam tinggi akan bernapas lebih cepat, sedangkan sapi yang terserang penyakit menahun dan cukup serius, frekuensi pernapasannya akan menjadi lambat dan berat (Akoso, 1996).
Frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran tubuh, umur, aktifitas ternak, kehamilan, lingkungan dan aktifitas pencernaan terutama pada rumen (Dukes, 1995). Menurut Sugeng (1998), frekuensi pernapasan yang sebenarnya dapat dihitung bila ternak dalam keadaan istirahat dan tenang.
2.2.4. Kontraksi Rumen
Proses ruminansi pada sapi sehat berupa peremasan pakan yang ditelan secara kuat dan mantap kemudian dicampur dengan cairan. Kontraksi rumen rata-rata terjadi sekali tiap dua menit. Peristiwa ini menimbulkan gerakan rumen yang dapat dirasakan oleh tangan pemeriksa dengan mengepalkan tinju dan mendesaknya di bagian kiri atas lambung tepat di lekuk pinggang di belakang rusuk terakhir. Terjadinya perubahan frekuensi atau gerak ruminansi yang tidak dapat dirasakan menandakan adanya gangguan fungsi rumen (Akoso, 1996).

Laporan protein 2

PENDAHULUAN
Istilah protein berasal dari kata yunani proteos, yang berarti yang utama atau yang didahulukan. Kata ini dikenalkan oleh seorang ahli kimia belanda, Garargus Mulder (1802-1880),  karena ia berpendapat bahwa protein adalah zat yang paling terpenting dalam setiap sistem organisme. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan kadang kala sulfur serta fosfor (Almatsier 2009).
Protein yang berasal dari hewan disebut protein hewani, sedangkan yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati. Tumbuhan membentuk protein dari CO2, H2O dan senyawa nitrogen. Protein digunakan sebagai sumber pembentukan sel-sel tubuh dan sebagai sumber energi apabila tubuh kita kekurangan karbohidrat dan lemak. (Poedjiadi 1994).
Separuh plasma protein dari total protein dalam tubuh merupakan Albumin. Karena menjadi plasma Protein, peranan Albumin yang mengandung asam amino sangat vital mulai dari penyusun struktur sel, antibody, enzim hingga hormon. Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60%. Protein yang larut dalam air dan mengendap pada pemanasan itu merupakan salah satu konstituen utama tubuh. Albumin adalah protein yang tertinggi konsentrasi dalam plasma. Fungsi Albumin sangat banyak bagi tubuh, diantaranya untuk merangsang hormon tiroid, merangsang asam lemak, dan Albumin juga merangsang  bilirubin.
Albumin pada umumnya dibentuk di hati. Hati menghasilkan sekitar 12 gram albumin per hari yang merupakan sekitar 25% dari total sintesis protein hepatic dan separuh dari seluruh protein yang diekskresikan organ tersebut. Albumin pada mulanya disintesis sebagai preprotein. Peptida sinyalnya dilepaskan ketika preprotein melintas kedalam sinterna reticulum endoplasma kasar, dan heksa peptide pada ujung terminal-amino yang dihasilkan itu kemudian dipecah lebih lanjut disepanjang lintasan skreotik. Albumin dapat ditemukan dalam putih telur dan darah manusia. Golongan protein ini paling banyak dijumpai pada telur (albumin telur), darah (albumin serum), dalam susu (laktalbumin).

Praktikum kali ini bertujuan agar mahasiswa akan dapat menunjukan sifat dan struktur asam amino dan protein melalui uji – uji kualitatif dan mempelajari beberapa reaksi uji terhadap asam amino dan protein.

METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilakukan di laboratorium GG LAB 04. Waktu praktikum yaitu hari jumat tanggal 07 Maret 2014 pukul 07.00 – 11.00 WIB.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tabung reaksi, pipet tetes, gelas piala 100 ml dan 250 ml, botol semprot, kasa, waterbath (pemanas), pipet mohr 10 ml, bulk karet, thermometer, ruang asam, dan kayu penjepit. Bahan – bahan yang digunakan pada peraktikum ini antara lain HgCl2 2%, larutan Pb-Asetat 5%, larutan AgNO3 5%, larutan amino Sulfat, Aquades, pereaksi Millon, pereaksi Biuret, larutan asam asetat, larutan Albumin 1M, HCL 0.1 M, NaOH 0.1 M, buffer asetat pH 4.7, dan Etanol 95%.
Prosedur Percobaan
Pengendapan oleh Logam.  Di dalam tabung reaksi berisi 3 ml albumin
ditambahkan 5 tetes larutan HgCl2 2%, percobaan diulangi dengan menggunakan larutan Pb-asetat 5% dan AgNO3 5%.
Pengendapan oleh Garam. Larutan Protein 5 ml dijenuhkan dengan asam sulfat dan ditambahkan sedikit demi sedikit garam, lalu diaduk hingga mencapai titik jenuh, kemudian disaring. Setelah itu kelarutan di uji dengan air dan endapan di uji dengan pereaksi Millon dan pereaksi Biuret.
Uji Koagulasi. Larutan Protein sebanyak 2,5 ditambahkan 2 tetes asam asetat, kemudian tabung diletakan didalam air mendidih selama 5 menit, lalu endapan di ambil dengan batang pengaduk, setelah itu kelarutan di uji  dalam air dan endapan di uji dengan pereaksi Millon.
Pengendapan oleh Alkohol. Untuk uji pengendapan oleh alkohol disiapkan 4 tabung reaksi. Tabung reaksi pertama dimasukan 2,5 ml larutan Albumin, lalu ditambahkan HCL 0,1 sebanyak 0,5 dan Etahol 95% sebanyak 3 ml, tabung reaksi ke dua dimasukan 2,5 ml larutan Albumin, lalu NaOH 0,1M sebanyak 0,5 ml dan larutan Etanol 95% sebanyak 3 ml, tabung reaksi ke tiga dimasukan 2,5 larutan Albumin, lalu ditambahkan Bafer Asetat pH4,7 sebanyak 0,5 ml dan Etanol 95% sebanyak 3 ml, tabung reaksi keempat sebagai pengkontrol dimasukan 2,5 ml larutan Albumin dan Etanol 95% sebanyak 3,5 ml. kemudian dari setiap tabung diamati mana yang menunjukan protein tidak larut dan dilihat perbedaan pada proses pengendapan protein oleh Logam, protein oleh Garam, dan protein oleh Alkohol.
Denaturasi Protein. Untuk uji Denaturasi rotein disiapakan 4 tabung reaksi. Tabung reaksi pertama dimasukan larutan Albumin sebanyak 4,5 ml dan HCL 0,1M sebanyak 0,5 ml, tabung reaksi ke dua dimasukan larutan Albumin sebanyak 4,5 ml dan NaOH 0,1M sebanyak 0,5 ml, tabung reaksi ke tiga dimasukan larutan albumin sebanyak 4,5 ml dan larutan Bufer Asetat pH 4,7 sebanyak 0,5 ml, tabung reaksi ke empat sebagai pengkontrol dimasukan larutan Albumin sebanyak 4,5 ml. kemudian ke empat tabung diletakan di air mendidih selama 15 menit dan di dinginkan pada temperature kamar. Perubahan yang terjadi diamati dan untuk tabung pertama dan ke dua ditambahkan 5 ml Bufer Asetat pH 4.7.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Protein terdapat dalam sistem hidup semua organisme baik yang berada pada tingkat rendah maupun organisme tertinggi. Untuk mengidentifikasi jenis protein yang terkandung, dapat dilakukan melalui percobaan pengendapan oleh Logam, pengendapan oleh Garam, uji Koagulasi, pengendapan oleh Alkohol, dan Denaturasi protein.
Tabel 1. Hasil perngamatan pengendapan Albumin oleh Logam.
Logam
Hasil
Ag
++
Pb
+
Hg
+++
Keterangan : ( +++ ) Sangat Banyak Endapan ( ++ )  Banyak Endapan ( + )   Sedikit Endapan
Prinsip uji pengandapan oleh Logam, garam logam berat seperti Ag, Pb, dan Hg akan membentuk endapan logam Proteinat. Ikatan yang terbentuk amat kuat dan akan memutuskan jembatan garam, sehingga protein mengalami Denaturasi. Jadi garam logam berat  sangat berbahaya bila sampai termakan karena garam logam tersebut akn mendenaturasi sekaligus mengendapkan protein sel – sel tubuh.
Hasil pengamatan pengendapan albumin oleh logam, logam Ag menghasilkan (++) banyak endapan, pada logam Pb menghasilkan (+) sedikit endapan, dan pada  logam Hg menghasilkan (+++) sangat banyak endapan. Hasil dari literatur  yang didapat seharusnya larutan pada AgNO3 5% lebih banyak endapan dibandingkan larutan HgCl 2%,  kontaminasi sampel mungkin terjadi. Hal itu menunjukan bahwa logam Ag, Pb, dan Hg sangat reaktif sesuai dengan posisi unsur tersebut di table SPU, diantara  ketiga larutan tersebut larutan AgNO3 yang paling reaktif karena logam Ag mempunyai elektron valensi yang lebih.
Tabel 2. Hasil pengamatan pengendapan Albumin oleh Garam.
Uji
Hasil
Kelarutan
Larut
Millon
-
Biuret
-
Keterangan : ( + ) Ada Protein
 ( - )  Tidak Ada Protein
Prinsip uji pengendapan oleh garam, apabila terdapat garam – garam anorganik dengan presentasi tinggi dalam larutan protein maka kelarutannya akan berkurang, sehingga mengakibatkan pengendapan. Teori menyebutkan bahwa sifat itu terjadi karena kemampuan ion garam untuk terhidrasi sehingga berkompetisi dengan molekul protein untukmengikat air.
Hasil pengamatan pengendapan Albumin oleh garam, uji Millon dan uji Biuret menghasilkan (-) tidak ada protein. Hasil literatur seharusnya hasil yang didapat pada  uji Biuret (+)  mununjukan ada protein, kontaminasi sampel mungkin terjadi.
Garam anorganik yang digunakan dalam percobaan ini adalah ammonium sulfat, hal ini terjadi karena ammonium sulfat memiliki tingkat kelarutan yang lebih tinggi dari pada protein. Sehingga pada saat penambahan ammonium sufat akan melarut dalam air atau pelarutnya dan mendesak protein keluar, kembali dalam bentuk sendirinya, sehingga terbentuklah protein yang terendap.
Tabel 3. Hasil pengamatan uji Koagulasi Albumin.
Uji
Hasil
Kelarutan
Larut
Millon
-
Keterangan : ( + ) Ada Protein
 ( - ) Tidak Ada Protein
Prinsip Koagulasi, Denaturasi protein didefinisikan sebagai suatu keadaan telah terjadinya perubahan struktur protein yang mencakup perubahan bentuk dan lipatan molekul, tanpa menyebabkan pemutusan atau kerusakan ikatan antar asam amino dalam struktur primer protein. Protein yang mengalami Denaturasi kelarutannya berkurang. Karena itu ia akan mengendap pada titik isolistriknya.
Protein yang digunakan merupakan albumin atau putih telur. Hasil pengamatan uji Koagulasi Albumin, pada uji Millon hasil yang didapat (-) tidak ada protein. Hasil dari literatur yang didapat seharusnya (+) adanya protein. Endapan albumin yang terjadi setelah penambahan asam asetat, bila direaksikan dengan pereaksi millon memberikan hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa endapan tersebut masih bersifat sebagai protein. Koagulasi ini hanya terjadi bila larutan protein berada titik isolistriknya (Poedjiadi 1994).
Tabel 4. Hasil pengamatan pengendapan Albumin oleh Alkohol.
Tabung
Hasil
1 (HCl)
++
2 (NaOH)
+
3 (Buffer)
+++
4 (Kontrol)
+
Keterangan : ( +++) Sangat Banyak Endapan
 ( ++ )  Banyak Endapan
  ( + )   Sedikit Endapan
                       ( - )    Tidak Ada Endapan
Prinsip uji pengendapan oleh alkohol adalah pengendapan protein, protein dapat diendapkan dengan penambahan alkohol. Pelarut organik akan mengurangi konstanta dielektrika dari air, sehingga kelarutan protein berkurang, dan juga karena alkohol akan berkompetisi dengan protein terhadap air .
Hasil pengamatan yang didapat  HCl  menghasilkan (++) banyak endapan, NaOH dan pengkontrol menghasilkan (-), dan Buffer asetat menghasilkan (+++). Sesuai dengan literatur pada uji pengendapan protein oleh alkohol endapan yang paling banyak dihasilkan oleh buffer asetat, buffer asetat menghasilkan endapan yang paling banyak karena memiliki pH 4,7 pada titik isolistiknya, yang sama dengan pH isolistrik albumin (4,55-4,90). Protein akan terdenaturasi atau mengendap bila berada pada titik isolistriknya, yaitu pH dimana jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatifnya. Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Sebaliknya, dalam larutan basa (pH tinggi) molekul protein akan bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif.  pH isolistrik muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol (Winarno 2002).
Tabel 5. Hasil pengamatan uji Denaturasi protein.
Tabung
Hasil
1 (HCl)
++
2 (NaOH)
+++
3 (Buffer)
+
4 (Kontrol)
+
Keterangan : ( +++) Sangat Banyak Endapan
 ( ++ )  Banyak Endapan
  ( + )   Sedikit Endapan
  ( - )    Tidak Ada Endapan    
Prinsip uji denaturasi merupakan reaksi denaturasi albumin tanpa penambahan alkohol, ternyata endapan yang paling banyak dihasilkan oleh buffer asetat, diikuti oleh HCl dan NaOH. Penambahan bufer asetat pada uji tersebut bertujuan agar pH isolistrik tercapai, sehingga albumin dapat terdenaturasi.
Protein sering mengalami perubahan sifat setelah mengalami perlakuan tertentu, meskipun sangat sedikit ataupun ringan dan belum menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan kovalen atau peptida, perubahan inilah yang dinamakan dengan Denaturasi Protein. Hasil pengamatan dari uji Denaturasi protein yang didapat, NCl menghasilkan (++) banyak endapan, NaOH menghasilkan (+++) sangat banyak endapan, Buffer dan pengkontrol (+) sedikit endapan. Hasil dari literatur yang didapat pada HCl dan NaOH seharusnya tidak ada endapan, dan pada Buffer asetat ada endapan.
Denaturasi protein dapat terjadi dengan berbagai macam perlakuan, antara lain dengan perlakuan panas, pH, garam, dan tegangan permukaan. Laju denaturasi protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap kenaikan 100C. Suhu terjadinya denaturasi sebagian besar protein terjadi berkisar antara 55-750C. Pada protein yang mengalami denaturasi, proteinnya akan mengendap karena gugus-gugus bermuatan positif dan negatif dalam jumlah yang sama atau netral atau dalam keadaan titik isoelektrik.
Proses denaturasi ini terjadi pemtusan ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik dan ikatangaram hingga molekul protein tidak punya lipatan lagi.Garam-garam seperti misalnya natrium klorida dalam konsentrasi tertentu dapat menyebabkan denaturasi atau koagulasi. Pada protein telur mudah terdenaturasi oleh adanya panas dan tegangan maka bila putih telur tersebut diaduk sampai menjadi buih. Protein yang telah mengalami denaturasi akan memberikan beberapa hal seperti Viskositas naik ( karena mol menjadi asimetris dan lipatan hilang) Rotasi optis larutan protein meningkat (Ophart 2003).

SIMPULAN
Protein yang tercampur oleh senyawa logam berat akan terdenaturasi. Protein dapat diendapkan dengan garam ammonium sulfat hingga jenuh. Kelarutan protein akan berkurang bila dalam larutan protein ditambahkan garam-garam anorganik. Panas yang  pada uji koagulasi mengacaukan ikatan Hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar, sedangkan asam asetat membuat larutan albumin mencapai pH isoelektriknya sehingga dapat terkoagulasi. Pada uji pengendapan protein oleh alkohol endapan yang paling banyak dihasilkan oleh buffer asetat, diikuti oleh NaOH dan HCl. Denaturasi protein merupakan gangguan dan kerusakan yang terjadi pada struktur sekunder dan tersier protein disebabkan oleh perubahan kalor, perubahan pH yang ekstrim.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta [ID]: Geramedia Pustaka Utama.
Fessenden, F dan Fessenden. [1994]. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta [ID]:   Erlangga.
Lehninger.A.L, 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta [ID]: Erlangga.
Ophart, C.E., 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College.
Poedjiadi A, Supriyanti FT. 1994. Dasar-Dasar Biokimia.Jakarta [ID]: UI press.
Veerachari U. et al. 2011. Premilinary phyto-chemical evaluation of the leaf           extract of five Cassia Species. Vol 574-583.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta [ID]: Gramedia Pustaka       Utama.